SETIAP PETIKAN AYAT (KEBAIKAN) DARI QUR'AN YANG KITA BACA DAN KEMUDIAN KITA AMALKAN
ITU IBARAT TEMAN ATAU SAUDARA DEKAT YANG AKAN MENYAMBUT DAN MEMBANTU KITA NANTI DI ALAM KEMATIAN
DI SAAT KITA MERASA SENDIRIAN DAN TIADA KAWAN
YANG JUGA MENJADI CAHAYA PENERANG DI SAAT KEGELAPAN YANG MENAKUTKAN
YANG AKAN MEMBELA KITA DARI SEGALA GANGGUAN DI ALAM KUBUR
SUNGGUH BERUNTUNG ORANG YANG TELAH MEMPUNYAI BANYAK TABUNGAN KEBAIKAN
IA TIDAK PERLU LAGI KAWATIR MENGHADAPI KEMATIAN DAN ALAM KUBUR
RABBANAA LAA TUZIGH QULUUBANAA BA’DA IDZ HADAITANAA WA HABLANAA MIN LADUNKA RAHMATAN. INNAKA ANTAL WAHHAABU. (QS ALI IMRAN 3: 8) Artinya: “Ya Allah Tuhan kami, janganlah Engkau sesatkan hati kami sesudah mendapat petunjuk, berilah kami karunia. Engkaulah yang Maha Pemurah.”
Rabu, 17 September 2014
Rabu, 10 September 2014
INI PILIHAN HIDUP
Melalui ayat 27
surat Al Kahfi, Allah Swt memberi petunjuk dakwah kepada Rasulullah saw. Isinya
tentang tiga kewajiban pokok, yaitu perintah menyampaikan Al Qur’an
kepada seluruh umat manusia, penegasan tidak ada seorangpun yang dapat mengubah
kalimat-Nya, dan tidak akan menemukan tempat berlindung selain-Nya.
Ayat tersebut
semestinya menjadi dasar orientasi (itijah) setiap mukmin, apakah posisinya
sebagai pemimpin atau pengikut, agar mereka tetap komit dan lurus (istiqomah)
mengikuti perintah-perintahNya. Tidak berubah, terpengaruh, terinfiltrasi
secara ideologi atau pemikiran. Tidak larut atau goyah disebabkan keadaan yang
ada di sekelilingnya.
Di masa kini,
model komunitas seperti yang digambarkan ayat di atas mungkin tidak relevan
dengan kehidupan modern. Terutama oleh mereka yang tidak memahami pilihan hidup
yang diambil komunitas yang berbeda dengan kaidah-kaidah modern itu. Maklum,
mungkin karena terlalu banyak tantangan yang harus diambil oleh mereka yang
berusaha istiqomah dengan pilihan hidup yang mereka yakini. Tapi, bagi mereka sendiri
beratnya tantangan merupakan bagian dari pilihan hidup.
Abbas As-Siisi---
seorang generasi awal yang masuk barisan dakwah Ikhwanul Muslimin dan
dibina langsung oleh Imam Hasan Al Banna--- mengatakan, “Kami takkan merasa
lemah ketika kami datang untuk mengusung dakwah ini. Kami tidak menemui mereka
hanya untuk memperkenalkan diri, agar kami memperoleh jabatan, popularitas, dan
status sosial terpandang. Sejak dahulu, hingga kini, kami masih menyandang
‘pekerja dakwah’. Kami tidak melakukan pekerjaan ini untuk mendapatkan
bantuan pemerintah.”
As-Siisi
melanjutkan, “Kami tidak membawa dakwah ini ke tengah mereka untuk meraih
popularitas, kemasyuran, pangkat, harta serta gelar yang diselamatkan di pundak
kami untuk dipertontonkan di setiap acara besar, sehingga setiap orang
memandang wajah kami, serta media massa berduyun-duyun memotret kami. Bukan itu
yang ingin kami capai. Dakwah yang kami lakukan adalah pilihan hidup. Kami
persembahkan dakwah ini dengan kerelaan, meskipun kami sadar ini adalah beban yang
sangat berat. Tapi, kami semua ihklas memikulnya, tanpa merasa letih dan
bosan, memasuki hari-hari panjang dalam tercapainya tujuan.”
Tokoh yang
bergabung dengan jamaah Ikhwan di tahun 1936 ini, lalu menegaskan, “Betapa
beratnya dalam menapaki jalan dakwah ini, kami meninggalkan keluarga menuju
penjara atau diasingkan di pulau tak bertuan, dan akhirnya kami menemukan
kematian di jalan Allah. Tapi semua ini teramat sedikit sebagai resiko perjuangan.
Dakwah hanya akan menemui kegagalan, tanpa perngorbanan jiwa, darah dan air
mata.”
Apabila dakwah ini
menuntut haknya kepada kami dalam bentuk kesiapan mengorbankan segala hal yang
kami miliki, murah atau mahal, beresiko atau tidak--- demi kemenangan dakwah
ini--- kami akan senantiasa siap untuk melakukannya. Walaupun itu harus ditebus
dengan nyawa. Sebagaimana dikatakan oleh seorang mujahid dakwah, ‘Kembali
kepada Allah tanpa bekal sedikitpun.’ Di atas prinsip itulah kami berjalan dan
berjuang untuk mendapatkan kemenangan.”
Syeikh Ahmad Yasin
dan Syeikh Abdul Aziz Ar Rantisi hanyalah pribadi-pribadi yang mengikuti jejak
pendahulunya. Menemui kematian melalui cara yang terhormat dan mulia. Imam
Hasan al Banna menemui kematiannya dengan tembakan senjata kaki tangan Farouk.
Sayyid Quth, Ali Audah, Kamaluddin Assananiri, dan generasi-generasi berikutnya
juga menjemput kematian dengan cara yang terhormat dan mulia. Semua
melangkahkan kakinya menuju jalan yang hendak dicapai: kemuliaan, kehormatan,
dan keridhaan-Nya.
Di masa kin,
Gerakan Hamas dan para tokohnya menjadi model aplikasi (tanfidz) dakwah
Ihkwan. Dimana nilai-nilai yang menjadi dasar Jamaah Ikhwan yang tertuang dalam
sepuluh arkanul ba’lah, betul-betul diwujudkan. Pemahaman, keikhlasan, amal,
tajarrud, tadhhiah, ukhuwah, sabar, tsabat, dan jihad, semua tercermin dalam
perilaku hidup mereka.
Ayat 28 surah Al
Kahfi melukiskan dengan sangat jelas pesan Allah ta’ala, “Dan bersabarlah kamu
bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan senja hari dengan
mengharap keridhaanNya, dan janganlah kedua matamu berpaling dari merka
(karena) mengharapkan perhiasan dunia ini, dan janganlah kamu mengikuti orang
yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti hawa
nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.”
Hendaknya kemana
kita melangkahkan kaki ini? Akankah kekuasaan, pangkat, kemegahan, dan harta
memalingkan wajah kita dari bersama-sama orang beriman? Sementara kita tahu
betul bahwa kebanyakan manusia berebut kekuasaan hanyalah diabdikan kepada
kemegahan dirinya sendiri. Kekuasaan yang dimiliki bukan diabdikan untuk
kebaikan dan kepentingan orang banyak.
Yang pasti, semua
pilihan akan menentukan akhir perjalanan hidup seseorang. Apakah ia akan
menemui kematian secara terhormat atau hanya sebagai seorang pecundang yang tak
bermakna sekali. Wallahu’alam.
****Sumber :
Majalah SAKSI No 16 Tahun VII
Langganan:
Postingan (Atom)