Minggu, 03 November 2013

MENCABUT KEBIASAAN BOROS

Suatu ketika Khalifah Umar bin Khattab RA berkunjung kerumah putranya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada seonggok daging diatas sebuah wadah. Umar lalu bertanya, “Daging apa ini?” Putranya menjawab, “Aku menyukainya.” Mendengar itu Umar langsung menukas, “Apakah enak memakan setiap yang engkau sukai? Cukuplah seseorang dikatakan bersikap boros bila ia memakan semua yang ia sukai.” (Hayatush Shahabah, 2/287). Peryataan Umar kepada putranya memang sangat menyentil dan keras. Ia bisa dimaklumi, karena Al-Qur’an sendiri dengan tegas menyatakan bahwa kaum mubadzirin (pemborosan) adalah saudara-saudara syaithan. Dan syaithan itu kufur terhadap rabbnya (QS Al-Isra 17: 27)

Ada dua kriteria boros menurut DR. Sayyid Muhammad Nuh. Pertama, menggunakan suatu diluar kerangka taat kepada Allah. Artinya, apa saja yang disalurkan untuk kemaksiatan, jelas sia-sia. Bentuknya bisa harta benda, pikiran, tanaga, bahkan waktu. Waktu adalah anugerah termahal dalam hidup manusia. “Hidup manusia tak lebih dari gugusan waktu. Hilangnya sebagian waktu, berarti hilangnya bagian kehidupan,” kata Hasan Al-Bashri. Maka, penyia-nyian waktu identik dengan membung-buang kesempatan hidup. Padahal kehidupan adalah satu-satunya kesempatan manusia untuk memupuk modal kebahagian hakiki di akhirat. Kedua, menggunakan suata melewati batas kewajaran. Termasuk dalam hal ini makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan sebagainya, yang digunakan secara berlebihan. 

Semua hal yang awalnya mudah untuk dikonsumsi, bila digunakan kelewat batas, hukumannya bisa menjadi haram. Makanan, minuman, berpakaian, bukan saja mubah bahkan termasuk kategori kebutuhan primer (dharuriyat). Namun bila dilakukkan secara berlebihan, bisa-bisa yang mubah itu jatuh pada kategori haram. Imam Ghazali meriwayatkan, di kalangan salafusshalih ada yang terbiasa berdiri di hadapan meja makan setiap malam. Mereka berkata: “Wahai manusia yang ingin makan, jangan makan terlalu banyak, karena hal itu akan menyebabkan kalian banyak minum dan menjadikan kalian banyak tidur, dan akibatnya kalian akan banyak mengeluh ketika mati.” (Ihya Ulumuddin, l/356). 

Bahkan, beribadah yang kedudukannya wajib, bila dilakukan melebihi kapasitas manusiawi, adalah haram. Rasul SAW bersabda, “Beramalah sebatas kesanggupanmu. Sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian yang merasa bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang dikerjakan terus-menerus sekalipun sedikit.” (Muttafaq alaih). Dalam kesempatan lain, ketika sejumlah sahabat secara emosional bertekat meninggalkan kebutuhan manusiawinya untuk beribadah, Rasul bersabda, “Kaliankah yang mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang lebih takut daripada kamu, bahkan saya lebih bertakwa. Akan tetapi saya berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur, dan saya juga kawin. Barangsiapa yang mengabaikan sunnahku, maka ia bukan golonganku.” (Muttafaqun alaih)

Dampak lain dari sikap boros adalah lenyapnya sikap empati dan peduli terhadap orang lain. Makan dan minum bila berlebihan, selain bersifat menyia-nyiakan nikmat Allah disaat orang lain membutuhkan, juga menimbulkan penyakit. Bukan hanya penyakit fisik, tapi penyakit mental yang menjadikan orang tidak lagi mempunyai empati dan tidak perduli terhadap kondisi orang lain. Sikap boros menjadikan hati kasar dan keras. Hati manusia akan halus dan lembut dengan rasa lapar dan sikap zuhud. Sebaliknya, hati akan menjadi kasar dan beku dengan rasa kenyang atau banyak makan. Kondisi seperti ini adalah sunnatullah yang tak akan berubah (QS Fathir 35:47). Ketika hati kasar dan keras, sikap tunduk dan pengabdian seseorang kepada Allah akan berkurang. Allah berfirman, “Celakalah bagi orang yang kasar hati dari dzikrullah.” (QS Az-zumar 39:22). Orang yang hatinya kasar, meski berusaha melakukan berbagai kebaikan dan ketaatan, tidak akan berhasil meraih kenikmatan dalan beribadah. Ia hanya memperoleh rasa letih dan lelah. Rasul bersabda, “Berapa banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapat apa-apa kecuali bergadang.” (HR Thabrani, dengan sanad tsiqah). Itu sebabnya, orang boros cenderung melakukan keburukan atas dosa. Inilah dampak ketiga sikap boros. Boros dalam hal makanan akan memberi energi besar dalam tubuh, yang wujudnya dapat menggerakkan perilaku yang terpendam dalam jiwa. Misalnya, meningkatnya gejolak nafsu biologis seseorang karena banyak makan. Akibatnya, sangat sulit baginya untuk bertahan agar tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat. Termasuk dampak sikap boros adalah kuatnya dorongan mencari harta dengan jalan haram. 

Sikap boros cenderung memanjakan rongrongan hawa nafsu. Secara pribadi, orang yang terbiasa berlaku boros akan selalu menuntut kebiasaan itu agar terus dipenuhi. Ditambahi lagi dengan pengaruh istri dan anak. Istri dan anak adalah ujian. Ketika seorang muslim tidak teliti menghadap mereka, dengan mudah ia akan terpengaruh. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya di antara istri dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu, maka hati-hatilah kamu terhaadap mereka…” (QS At-Taghabun 64: 14). Banyak contoh menarik untuk kita renungkan, yang diberikan para salafushalih

Misalnya kisah Saad bin Abi Waqqash. Ketika menjadi Gubernur kufah, ia pernah mengirim sepucuk surat pada Khalifah Umar RA. Isinya adalah permintaan pembangunan rumah tempat tinggal. Umar RA segera membalas suratnya dengan mengatakan, “Bangunlah apa yang dapat melindungimu dari sinar matahari dan memeliharamu dari hujan. Dunia ini sudah cukup memadai” (Hayatu shahabah, 2/286). Maimun berkisah, salah seorang keturunan Abdullah bin Umar RA meminta kepada ayahnya sehelai kain seraya berkata, “Kainku telah terkoyak.” Abdullah bin Umar RA menjawab, “Potonglah kainmu yang terkoyak, kemudian kenakan sisanya.” Pemuda itu tampak tidak senang mendengar jawaban itu. Abdullah bin Umar lalu berkata, “Celakalah engkau! Takutlah kepada Allah! Jangan sekali-kali engkau termasuk kaum yang menjadikan rezeki Allah untuk perut-perut dan punggung mereka.” (Hayatu Shahabah, 2/288).     

****               
Ditulis ulang oleh : Budhi Tri Maryanto & Ali Nur Susanto
Sumber : Majalah Sabili No. 14 Th VI 20 Januari 1999
     

Sabtu, 02 November 2013

KAPAN LAILATUL QADAR TIBA?

Dalam sejumlah hadits, disebutkan bahwa lailatul qadar terletak pada sepuluh hari terakhir Abu Sa’id mengatakan bahwa Nabi SAW suatu ketika menemui sejumlah sahabat pada pagi hari kedua puluh ramadhan. Beliau bersabda,  “Sesungguhnya aku bermimpi melihat lailatul qadar, kemudian aku lupa maka carilah ia pada sepuluh hari terakhir pada bulan ramadhan, pada hari ganjil.” (Muttafaq alaih). 

Meski demikian, beri’tikaf hendaknya tidak dikaitkan dengan hitungan ganjil. Karena dengan perbedaan masuknya ramadhan antara satu Negara dengan Negara lainnya, otomatis hitungan ganjil pun berubah. Yang lebih baik adalah menghidupkan malam dengan ibadah sebanyak-banyaknya di setiap hari dalam sepuluh hari terakhir itu seluruhnya. 

Ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ketujuh terakhir dari bulan ramadhan. Ibnu umar bahkan mengatakan, sejumlah sahabat datang kepada rasulullah SAW mereka lalu memamparkan telah bermimpi melihat lailatul qadar pada tujuh hari terakhir ramadhan. Lantas Rasulullah bersabda, “Saya juga bermimpi sebagaimana mimpi kalian, dan saya sepakat bahwa itu terjadi di tujuh hari terakhir bulan ramadhan. Siapa saja yang dapat meraihnya maka raihlah ia di tujuh hari terakhir.” 

Ibnu umar juga mengatakan, “Raihlah lailatul qadar pada sepuluh hari terakhir, bila diantara kalian ada yang tidak mampu maka jangan sampai terlepas dari tujuh hari dari sisanya. Tujuh hari terakhir adalah mulai dari malam kedua puluh tiga. Bila jumlah bilangan bulan ramadhan 29 hari, dan sejak malam 24 bila ramadhan berjumlah 30 hari. Lebih tegas lagi, Ubay bin Ka’ab dan ibnu abbas mengatakan, lailatul qadar itu terjadi pada malam ke dua puluh tujuh ramadhan. Dan Ubay pernah bersumpah untuk itu karna ia yakin telah melihat tanda-tandanya. Pendapat inilah yang popular di kalangan kaum muslimin. Sehingga ada sebagian masyarakat yang mengadakan upacara ibadah tertentu bila memasuki malam ke dua puluh tujuh ramadhan. Ada petunjuk dari para salafushalih tentang tanda-tanda alamiah kehadiran lailatul qadar. Antara lain diriwayatkan oleh muslim Abu Daud dan At-Turmudzi: “Tanda kehadiran lailatul qadar adalah matahari pada pagi harinya(terlihat)putih, tanpa sinar.” Imam Ahmad juga meriwayatkan, “Tanda langit bersih, terang bagaikan bulan sedang purnama, tenang, tidak dingin dan tidak pula panas.”

Terkait dengan silang pendapat tentang jatuhnya lailatul qadar, DR.Yusuf Qardhawi mengatakan tidak ada yang pasti tentang pendapat-pendapat itu. Al-hafiz Ibnu Hajar bahkan menghitung bahwa jumlah pendapat soal kapan jatuhnya lailatul qadar itu berjumlah 46 pendapat. Yang paling kuat adalah pendapat bahwa lailatul qadar terjadi pada malam ganjil pada sepuluh hari terakhir ramadhan.

Ada hikmah besar dibalik hal ini. Sebagai mana Allah merahasiakan kapan waktu diijabahnya do’a pada hari Jum’at, agar kita terus berdo’a pada Allah sepanjang hari itu.

Bukhari meriwayatkan dari Ubadah bin Shamit: Nabi pernah keluar memberitahu kami tentang lailatul qadar. Beliau lalu menyaksikan dua orang sahabat yang berbeda pendapat tentang lailatul qadar. Ketika rasul tiba, beliau bersabda, “Tadinya aku keluar untuk memberitakan kepada kalian tentang lailatul qadar. Tapi setelah menyaksikan dua orang yang berselisih, aku menjadi lupa. Mungkin ini yang lebih baik bagi kalian.”

***
Di tulis ulang oleh: Budi Tri Maryanto Dan Tubagus Nasrudin
Sumber: Masalah Sabili/NO.14 Th VI    20 Januari 1999 

ANTARA KITA DAN ALLAH



Saudaraku, kita dididik menjadi umat yang berakhlak. Kita selalu dituntun Allah SWT dan rasulnya menjadi orang-orang yang mau berkorban dan memberi. Memberi untuk meringankan beban orang lain. Berusaha untuk menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Meski harus membebani, menyulitkan kita sendiri. Kita selalu diajarkan untuk mau menebar kebaikan dimana saja. Menjadi umat yang laksana lebah. Hinggap di tempat yang baik, menghisap yang paling baik, dan menyebarkan yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Itulah akhlak kita. Itulah ciri khas dan jati diri umat kita, sejarah kita.

Kita tidak diajarkan untuk menjadi orang seperti lalat. Yang hinggap di tempat yang paling kotor, mengambil yang kotor, dan menyebarkan kekotoran itu untuk merusak manusia. Harm bin Hayyan, seorang ahli ibadah yang menjadi pegawai Umar bin Khatab ra pernah mengatakan,  “ Tiada seorang hamba yang mendekatkan diri hatinya kepada Allah, melainkan Allah akan mendekatkan hati orang-orang beriman kepadanya sampai ia mendapatkan kasih sayang mereka.”

Muhammad bin Jahm didatangi seseorang yang ingin membeli rumahnya. Ia bertanya, “Berapa engkau akan beli rumahku dengan tetangga Said bin Al Ash?” Lalu ia melanjutkan, “Bagaimana engkau menilai harga tetangga yang jika engkau memintanya, dia akan memberimu dan jika engkau diam, ia menegurmu lebih dahulu. Dan jika engkau berbuat jahat padanya, ia tetap berbuat baik kepadamu. Dan jika engkau jauhi dia, maka ia tetap lemah lembut padamu?” Ketika hal itu disampaikan pada Said, ia mengirimkan utusan dengan membawa 100 dirham. “Tinggallah tetap di rumahmu,” kata Said.

Simaklah wasiat Abu Ja’far bin Al Baqi kepada Umar bin Abdul Aziz, agar sang Khalifah kelima itu mendapat posisi yang baik di tengah rakyatnya. “Jadikanlah kedudukan manusia dalam dirimu tiga hal. Pertama, orang yang lebih tua darimu adalah orang tuamu. Kedua orang yang setara denganmu adalah saudarmu, dan yang lebih kecil darimu adalah anakmu. Lalu berbaktilah kepada orang tuamu, sambunglah hubungan dengan saudaramu, dan kasihinilah anakmu.”

Akhlak yang baik, bukan hanya karakter seorang Muslim. Tapi menurut Yahya bin Mu’adz rahimullah adalah kunci dan pintu rezeki. “Akhlak yang baik adalah simpanan rezeki yang banyak,” demikian ujarnya. Dengan akhlak yang baik, kita bisa menyebarkan nilai agama dan menanamkan pengaruh aqidah dalam dada seseorang maupun masyarakat. Akhlak yang baik bisa mengeluarkan manusia dari ketergantungan dan penghambaan pada sesama manusia, pada ketergantungan dan penghambaan pada Allah.

Demikian Islam mengajarkan kita. Coba lihat bagaimana tingkat kepedulian dakwah yang dilakukan oleh seorang Hasan Al Banna. Sayyid Muhammad Nuh, sahabat  Hasan Al Banna bercerita, ketika ia berada dalam satu mobil bersama Hasan Al Banna di jazirah Khadra, sebuah wilayah di timur kota Rasyid. Saat itu mobil berhenti di sebuah lampu merah, Imam Hasan Al Banna melihat bahwa ada sedikit persediaan air di depan polisi lalu lintas. Kemudian ia meminta izin kepada polisi untuk meminumnya. Polisi gembira sekali dan mempersilahkannya untuk minum. Imam Hasan Al Banna lalu menyempatkan diri berbicara beberapa kalimat kepada polisi tersebut. Ketika mobil kembali bergerak kembali, Muhammad Nuh berkata kepada Hasan Al Banna, “Mungkin air yang sedikit itu tidak sehat.”  Hasan Al Banna memandanginya dan berkata, “Kita telah berhenti sesaat. Kita harus mengambil manfaat dari yang sesaat tadi untuk menyebarkan dakwah.” (Fiqh Dawah Fardiyah, Dr Sayyid Muhammad Nuh)

Ini memang logika pahala, amal sholeh, yang didorong oleh keimanan. Imanlah yang mendorong untuk berbuat baik, meski secara kasat, mungkin sia-sia, bahkan bisa berupa beban atau kesulitan. Kebaikan harus diberikan kepada siapa saja. Keadilan harus juga diberikan kepada siapa saja. Kezaliman harus dijauhkan dari siapa saja. Itulah sendi-sendi ajaran Islam yang diberikan kepada kita. Abdullah bin Umar pernah menyembelih kambing. Pembantunya bertanya, “Apakah anda akan menghadiahkan pada tetangga kita yang Yahudi?” Ia menjawab: “Ya, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku agar berbuat baik terhadap tetangga, sampai-sampai saya menduga bahwa tetangga itu mempunyai hak waris.”” (HR. Bukhari)

Saudaraku, coba perhatikan firman Allah SWT menasehati Rasullulah, yang artinya, “Katakanlah, upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanya dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.’ Katakanlah : Sesungguhnya Tuhanku mewahyukan kebenaran. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. ” (QS. Saba 34:47-48)

Itulah petunjuk yang mengantarkan pada pemikiran yang dilandasi keimanan. Memberi tanpa berharap balasan. Berkorban tanpa meminta hadiah. Menyeru dan berusaha mendakwahkan kebaikan kepada banyak orang, dan hanya mengharap balasan dari Allah SWT. Logika apa, selain keimanan, yang bisa setuju dengan zakat, infaq dan shadaqah? Parameter apa selain keimanan, yang bisa dipahami jihad yang dilakukan seorang mujahid, hingga ia berada di antara kemungkinan mati? Terbayangkah logika kita, jika ada orang yang meminta mati demi orang lain dalam jihad? Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala  akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidur.” (HR Tirmidzi, Nasa’d dan Ibnu Majah).
 
Saudaraku. Jangan mundur memberi pengorbanan untuk orang lain. Jangan berhenti memberi dan berusaha untuk melahirkan kebahagiaan untuk orang lain. Mungkin saja, ada yang tidak setuju dengan bentuk pengorbanan yang kita berikan pada orang lain karena dianggap menyulitkan diri sendiri. Mungkin juga, ada yang menganggap upaya kita untuk kebahagiaan orang lain itu membebani dan tidak ada gunanya.

Bahkan tidak tertutup kemungkinan, bila kita jujur dan tulus kepada orang lain, orang mungkin akan menipu kita. Tapi tetaplah jujur dan tulus. Jika kita mengalami ketenangan dan kebahagiaan, mungkin ada orang yang iri. Tapi tetaplah syukuri kebahagiaan kita. Kebaikan kita hari ini gampang dan sering dilupakan orang. Tapi jangan berhenti melakukan kebaikan. Karena inti masalahnya, ada di antara kita dengan Allah, bukan antara kita dengan manusia. Siapapun dia.  

****Sumber : Majalah Tarbawi Edisi 57 halaman 60-61