Selasa, 19 Mei 2015

KEUTAMAAN MENUNTUT ILMU

Rasulullah SAW bersabda, “Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah)

Imam Syafi’i pernah berkata, “Pahamilah ilmu sebelum kalian menjadi pemimpin. Jika telah menjadi pemimpin, tidak ada lagi jalan untuk mendalami ilmu.”

Imam Malik (semoga Allah mengasihinya) berkata: “Jika ilmu tidak boleh dipelajari oleh orang banyak, maka ilmu itu tidak akan memberi manfaat kepada penguasa.”

Umar bin Kaththab RA berkata: “Belajarlah ilmu sebelum kalian menjadi pemimpin! Agar engkau tidak memimpin dengan kebodohanmu.”


Rasulullah SAW bersabda, “Ilmu itu menghidupkan Islam, dan tiang Iman. Dan barangsiapa mengajarkan ilmu, Allah sempurnakan pahalanya,  dan barangsiapa yang mempelajari ilmu lalu diajarkannya, Allah ajarkan dia apa-apa yang tidak ia ketahui.” (HR. Abu Syaikh)

Dari Sahl bin Sa’id, bahwa Nabi SAW bersabda kepada Ali, “Demi Allah, lebih baik bagimu jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang lewat dirimu, daripada keledai yang paling bagus.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Dan tiada berkumpul kaum di dalam suatu rumah Allah,  mereka membaca kitab dan  mempelajarinya bersama-sama, melainkan  diturunkan kepada mereka ketenangan hati  dan diselubungi mereka dengan rahmat.” (HR. Muslim)

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa yang melalui suatu jalan untuk mencari ilmu, Allah akan mudahkan baginya jalan ke surga. Sesungguhnya para  malaikat membentangkan sayapnya untuk para penuntut ilmu karena mereka ridha atas apa yang ia lakukan. Orang berilmu akan didoakan untuknya ampunan oleh yang ada di langit maupun yang ada di bumi sampai ikan yang ada dalam lautan. Keutamaan orang yang berilmu dengan orang yang beribadah adalah seperti keutamaan bulan dengan seluruh bintang-bintang. Para ulama adalah pewaris para nabi, dan nabi tidak pernah mewariskan dinar maupun dirham, tetapi mereka mewariskan ilmu. Barangsiapa yang mengambilnya, ia telah mendapatkan bagian yang sangat besar.” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ibnu Hiban dan Ahmad)

Dalam hadist Qudsi Allah SWT berfirman: “Barangsiapa yang disibukkan oleh Al Qur’an dalam rangka berdzikir kepada-Ku, dan memohon kepada-Ku, niscaya Aku akan berikan sesuatu yang lebih utama daripada apa yang telah Aku berikan kepada orang-orang yang telah meminta. Dan keutamaan kalam Allah daripada seluruh kalam selain-Nya, seperti keutamaan Allah atas makhluk-Nya.” (HR. Turmidzi)

Perjalanan Para Sahabat dan Ulama Dalam Menuntut Ilmu :

Lukman Hakim berwasiat kepada anaknya, “Wahai anakku, duduklah dengan para ulama dan rapatkanlah lututmu dengan mereka karena Allah akan menghidupkan hati dengan cahaya hikmah sebagaimana Allah akan menghidupkan tanah yang gersang dengan curahan air hujan dari langit.”

Diriwayatkan  dari Ali bin Ahmad bin Umar Al Mugri dari Ismail bin Ali Al Khatbi, dari Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, “Aku bertanya kepada bapakku Rahimuhullah tentang orang yang menuntut ilmu. Apakah seharusnya ia belajar dengan satu orang yang banyak ilmunya ataukah keluar ke beberapa daerah dan belajar dari para ulama lain? Dia berkata, ‘Seharusnya ia keluar. Belajar dari ulama Kufah, Bahsrah, Makkah, Madinah, dan mendengar dari mereka.’”

Dari Mas’ud berkata, “Bagaimana jika kalian tertimpa fitnah, ketika anak kecil menjadi besar dan orang tua menjadi renta, bila kalian menjalankan suatu sunnah lalu pada suatu hari dirubah dan dikatakan sebagai kemungkaran?” Seseorang bertanya, “Kapankah hal itu terjadi?” Apabila telah sedikit orang yang bisa dipercaya dan banyaknya para penguasa, sedikitnya orang berilmu dan banyaknya qari, belajar bukan untuk agama, dan mencari dunia dengan amalan akherat.” 

Abu Hurairah RA, dia berkata, “Sesungguhnya manusia akan berkata, ‘Abu Hurairah sangat banyak meriwayatkan.’ Kalaulah tidak karena ayat dalam Al Qur’an, aku tidak akan menyampaikan satu hadist pun.” Kemudian ia membaca : “Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al Kitab, mereka itu dilaknati Allah dan dilaknati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat melaknati, kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan kebenaran. Maka, terhadap mereka itu Aku  menerima taubatnya dan Akulah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS Al-Baqarah 2: 159-160)”   Sesungguhnya saudara-saudara kita dari kalangan Muhajirin sibuk berdagang di pasar dan saudara-saudara kita dari kalangan Anshar sibuk bekerja, sedangkan Abu Hurairah telah kenyang bersama Rasulullah SAW dan hadir saat-saat mereka tidak hadir serta menghafal apa yang mereka tidak hafal.’” 

An- Nawawi berkata, “Kami meriwayatkan dari Khatib Al Baghdadi Rahimamullah, dia berkata, ‘Al Bhukara Rahimamullah pergi menemui para ahli hadist yang ada di penjuru dunia. Dia belajar ke Khurasan, pegunungan, kota-kota di Irak seluruhnya, Hijaz, Syam, Mesir dan dia datang ke Irak beberapa kali. Kami juga meriwayatkan dari berbagai jalan dari Jafar bin Muhammad Al Quthun, dia berkata, ‘Aku mendengar Al Bhukara berkata, ‘Aku belajar kepada 1000 guru dari kalangan ulama, bahkan lebih. Aku tidak mempunyai satu hadistpun kecuali kusebutkan sanadnya.’’” 

Imam Syafi’i berkata, “Dahulu aku menyimak guru yang mengajarkan para muridnya dan aku menghafal apa  yang dikatakan, sedangkan ibuku tidak punya  apa-apa untuk membayar guru. Aku adalah seorang anak yatim. Guru itu membolehkanku untuk ikut bersamanya. Para murid menulis. Sebelum guru tersebut selesai dari mendiktekan, aku telah lebih dahulu menghafalkan apa yang kutulis.” Suatu hari guru itu berkata kepadaku, “Rasanya tidak halal bagiku mengambil sesuatu darimu.” Setelah pulang aku mengutip tembikar, pelepah kurma dan tulang unta. Aku menulis hadist padanya dan aku pergi ke tempat belajar  sambil mencari sisa-sisa kertas, dan aku  menyalinnya hingga penuh gentong milik ibuku dengannya.” 


 

 

Senin, 18 Mei 2015

JUNUB SETELAH HUBUNGAN SUAMI ISTRI



Amr bin Yasr menerangkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Tiga orang yang tidak didekati oleh malaikat: Bangkai orang kafir, orang yang memakai wewangian yang berlebihan, dan orang yang junub hingga dia berwudhu lebih dahulu.” (HR. Abu Dawud) 
 
Rasulullah SAW menegaskan, “Semoga Allah merahmati orang yang mandi junub (karena bersenggama) dan orang yang mandi sunat hari Jum’at.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Nasa’i)

Aisyah RA meriwayatkan, “Jika Nabi SAW dalam keadaan junub, dan beliau ingin makan atau tidur, beliau mengambil wudhu sebagaimana wudhu ketika hendak shalat.” (HR. Muslim)

Dari Umar bin Khathab RA, bahwa ia pernah bertanya bolehkan seseorang tidur sementara ia belum mandi wajib (masih dalam kondisi junub), dan Nabi SAW menjawab, “Iya boleh, jika kalian telah berwudhu, diperkenankan tidur dalam kondisi junub.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Diriwayatkan bahwa suatu hari Abu Hurairah pernah dalam kondisi junub (belum mandi wajib) berjalan dan berpapasan dengan Nabi SAW di suatu jalan. Kemudian Abu Hurairah langsung menyelinap pergi dan mandi (menghindari bertemu Nabi). Selesai mandi, Abu Hurairah menemui Nabi SAW. Lalu Nabi SAW bertanya kepadanya, mengapa tadi ketika berpapasan malah menghindar dan menghilang. Abu Hurairah menjawab, “Tadi aku dalam keadaan junub, dan aku malu duduk bersama engkau, sementara aku tidak suci.” Rasulullah SAW pun bersabda, “Subhaanallah, sesungguhnya seorang muslim tidak najis.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam apabila hendak mandi karena junub, memulai dengan mencuci kedua telapak tangan.” (HR Al-Bukhari no. 240, Muslim no. 474)

Disebutkan dalam riwayat lain dari Maimunah radhiyallahu ‘anha: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mencuci kedua telapak tangannya sebanyak dua atau tiga kali, kemudian beliau memasukkannya ke dalam wadah air.” (HR. Muslim no. 476)

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha:  “Kemudian Rasulullah menuangkan air pada kemaluannya lalu mencucinya dengan tangan kirinya.” (HR. Muslim no. 476)

Dari Maimunah radhiyallahu ‘anha, ia berkata: “Kemudian beliau menggosokkan telapak tangan kirinya ke tanah dengan sungguh-sungguh.” (HR. Muslim no. 476)

Dari Ibnu ‘Umar, ia berkata bahwa ‘Umar bin Al Kaththab pernah bertanya pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Apakah salah seorang di antara kami boleh tidur sedangan ia dalam keadaan junub?” Beliau menjawab, “Iya, jika salah seorang di antara kalian junub, hendaklah ia berwudhu lalu tidur.” (HR. Bukhari no. 287 dan Muslim no. 306).

Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,  “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa jika dalam keadaan junub dan hendak tidur, beliau mencuci kemaluannya lalu berwudhu sebagaimana wudhu untuk shalat.” (HR. Bukhari no. 288).

‘Aisyah pernah ditanya oleh ‘Abdullah bin Abu Qois mengenai keadaan Nabi shallallahu ’alaihi wa  sallam, “Bagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika dalam keadaan junub? Apakah beliau mandi sebelum tidur ataukah tidur sebelum mandi?” ‘Aisyah menjawab, “Semua itu pernah dilakukan oleh beliau. Kadang beliau mandi, lalu tidur. Kadang pula beliau wudhu, barulah tidur.” ‘Abdullah bin Abu Qois berkata, “Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan segala urusan begitu lapang.” (HR. Muslim no. 307).

Rasulullah SAW menegaskan bahwa : “Apabila seorang lelaki sudah duduk mantap antara empat anggota tubuh istrinya, kemudian dia memayahkan sang istri, maka keduanya wajib mandi, baik mengeluarkan sperma atau tidak.” (HR. Muslim dan Ahmad) ****Yang dimaksud empat anggota tubuh adalah dua tangan dan dua paha. Ini merupakan kiasan bahwa suami telah memasukkan dzakarnya ke liang vagina istrinya. Yang demikian adalah mewajibkan mandi.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa berwudhu saat mandi junub hukumnya sunnah, tidak wajib. Mereka berpandangan bahwa berwudhu saat mandi junub semuanya hanyalah diriwayatkan dari perbuatan Nabi. Sedangkan semata-mata perbuatan nabi, tidaklah menjadikan sebuah hukum menjadi wajib. Demikian pendapat yang dipilih oleh Al-Imam An-Nawawi, Ibnu Batthal, Asy-Syaukani dan para ulama lainnya. (Lihat Nailul Authar, 1/273)



****Sumber :

MENIKAHLAH, ENGKAU MENJADI KAYA; A. MUDJAB MAHALLI; MITRA PUSTAKA; YOGYAKARTA;2004
https://www.islampos.com/setelah-berhubungan-suami-istri-tidak-langsung-mandi-junub-bagaimana-87245/
http://www.walimah.info/pasutri/hukum-islam-setelah-berhubungan-intim-langsung-tidur-tidak-mandi-wudhu-dulu/
http://www.walimah.info/pasutri/tutorial-cara-mandi-junub-setelah-berhubungan-suami-istri-dalam-islam/

KISAH NABI MUSA DAN NABI KHIDHIR




Dalam Al-Qur'an surah 18 Al-Kahfi ayat 60-82:
[18:60] Dan (ingatlah) ketika Musa berkata kepada muridnya: "Aku tidak akan berhenti (berjalan) sebelum sampai ke pertemuan dua buah lautan; atau aku akan berjalan sampai bertahun- tahun".

[18:61] Maka tatkala mereka sampai ke pertemuan dua buah laut itu, mereka lalai akan ikannya, lalu ikan itu melompat mengambil jalannya ke laut itu.

[18:62] Maka tatkala mereka berjalan lebih jauh, berkatalah Musa kepada muridnya: "Bawalah kemari makanan kita; sesungguhnya kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini".

[18:63] Muridnya menjawab: "Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali syaitan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali".

[18:64] Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". Lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula.

[18:65] Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami.

[18:66] Musa berkata kepada Khidhir: "Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?"

[18:67] Dia menjawab: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sanggup sabar bersama aku.

[18:68] Dan bagaimana kamu dapat sabar atas sesuatu, yang kamu belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu?"

[18:69] Musa berkata: "Insya Allah kamu akan mendapati aku sebagai orang yang sabar, dan aku tidak akan menentangmu dalam sesuatu urusanpun".

[18:70] Dia berkata: "Jika kamu mengikutiku, maka janganlah kamu menanyakan kepadaku tentang sesuatu apapun, sampai aku sendiri menerangkannya kepadamu".

[18:71] Maka berjalanlah keduanya, hingga tatkala keduanya menaiki perahu lalu Khidhir melobanginya. Musa berkata: "Mengapa kamu melobangi perahu itu akibatnya kamu menenggelamkan penumpangnya?" Sesungguhnya kamu telah berbuat sesuatu kesalahan yang besar.

[18:72] Dia (Khidhir) berkata: "Bukankah aku telah berkata: "Sesungguhnya kamu sekali-kali tidak akan sabar bersama dengan aku".

[18:73] Musa berkata: "Janganlah kamu menghukum aku karena kelupaanku dan janganlah kamu membebani aku dengan sesuatu kesulitan dalam urusanku".

[18:74] Maka berjalanlah keduanya; hingga tatkala keduanya berjumpa dengan seorang anak, maka Khidhir membunuhnya. Musa berkata: "Mengapa kamu membunuh jiwa yang bersih, bukan karena dia membunuh orang lain? Sesungguhnya kamu telah melakukan suatu yang mungkar".

[18:75] Khidhir berkata: "Bukankah sudah kukatakan kepadamu, bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat sabar bersamaku?"

[18:76] Musa berkata: "Jika aku bertanya kepadamu tentang sesuatu sesudah (kali) ini, maka janganlah kamu memperbolehkan aku menyertaimu, sesungguhnya kamu sudah cukup memberikan uzur padaku".

[18:77] Maka keduanya berjalan; hingga tatkala keduanya sampai kepada penduduk suatu negeri, mereka minta dijamu kepada penduduk negeri itu, tetapi penduduk negeri itu tidak mau menjamu mereka, kemudian keduanya mendapatkan dalam negeri itu dinding rumah yang hampir roboh, maka Khidhir menegakkan dinding itu. Musa berkata: "Jikalau kamu mau, niscaya kamu mengambil upah untuk itu".

[18:78] Khidhr berkata: "Inilah perpisahan antara aku dengan kamu; kelak akan kuberitahukan kepadamu tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.

[18:79] Adapun bahtera itu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut, dan aku bertujuan merusakkan bahtera itu, karena di hadapan mereka ada seorang raja yang merampas tiap-tiap bahtera.

[18:80] Dan adapun anak muda itu, maka keduanya adalah orang-orang mu'min, dan kami khawatir bahwa dia akan mendorong kedua orang tuanya itu kepada kesesatan dan kekafiran.

[18:81] Dan kami menghendaki, supaya Tuhan mereka mengganti bagi mereka dengan anak lain yang lebih baik kesuciannya dari anaknya itu dan lebih dalam kasih sayangnya (kepada ibu bapaknya).

[18:82] Adapun dinding rumah adalah kepunyaan dua orang anak yatim di kota itu, dan di bawahnya ada harta benda simpanan bagi mereka berdua, sedang ayahnya adalah seorang yang saleh, maka Tuhanmu menghendaki agar supaya mereka sampai kepada kedewasaannya dan mengeluarkan simpanannya itu, sebagai rahmat dari Tuhanmu; dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri. Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya".


****Sumber:
https://www.facebook.com/notes/yash-in/tafsir-kisah-musa-dan-khidir-dalam-al-quran-surah-18-al-kahfi-ayat-60-82/536072859779109