Minggu, 27 Maret 2016

KISAH CINTA ALI BIN ABI THALIB DAN FATHIMAH AZZAHRA


Ada sebuah kisah cinta menarik di jaman Rasulullah dulu, yaitu kisah cinta Ali dan Fathimah. Ada rahasia terdalam di hati ‘Ali yang tak dikisahkannya pada siapapun. Fathimah. Karib kecilnya, puteri tersayang dari Sang Nabi yang adalah sepupunya itu, sungguh memesonanya. Kesantunannya, ibadahnya, kecekatan kerjanya, parasnya. Lihatlah gadis itu pada suatu hari ketika ayahnya pulang dengan luka memercik darah dan kepala yang dilumur isi perut unta. Ia bersihkan hati-hati, ia seka dengan penuh cinta. Ia bakar perca, ia tempelkan ke luka untuk menghentikan darah ayahnya.
 
Semuanya dilakukan dengan mata gerimis dan hati menangis. Muhammad ibn ’Abdullah Sang Tepercaya tak layak diperlakukan demikian oleh kaumnya! Maka gadis cilik itu bangkit. Gagah ia berjalan menuju Ka’bah. Di sana, para pemuka Quraisy yang semula saling tertawa membanggakan tindakannya pada Sang Nabi tiba-tiba dicekam diam. Fathimah menghardik mereka dan seolah waktu berhenti, tak memberi mulut-mulut jalang itu kesempatan untuk menimpali. Mengagumkan!
‘Ali tak tahu apakah rasa itu bisa disebut cinta. Tapi, ia memang tersentak ketika suatu hari mendengar kabar yang mengejutkan. Fathimah dilamar seorang lelaki yang paling akrab dan paling dekat kedudukannya dengan Sang Nabi. Lelaki yang membela Islam dengan harta dan jiwa sejak awal-awal risalah. Lelaki yang iman dan akhlaqnya tak diragukan; Abu Bakar Ash Shiddiq, Radhiyallaahu ’Anhu.
“Allah mengujiku rupanya,” begitu batin ’Ali.
Ia merasa diuji karena merasa apalah ia dibanding Abu Bakar. Kedudukan di sisi Nabi? Abu Bakar lebih utama, mungkin justru karena ia bukan kerabat dekat Nabi seperti ’Ali. Namun keimanan dan pembelaannya pada Allah dan RasulNya tak tertandingi. Lihatlah bagaimana Abu Bakar menjadi kawan perjalanan Nabi dalam hijrah, sementara ’Ali bertugas menggantikan beliau untuk menanti maut di ranjangnya.
Lihatlah juga bagaimana Abu Bakar berda’wah. Lihatlah berapa banyak tokoh bangsawan dan saudagar Makkah yang masuk Islam karena sentuhan Abu Bakar; ’Utsman, ’Abdurrahman ibn ’Auf, Thalhah, Zubair, Sa’d ibn Abi Waqqash, Mush’ab. Ini yang tak mungkin dilakukan kanak-kanak kurang pergaulan seperti ’Ali.
Lihatlah berapa banyak budak Muslim yang dibebaskan dan para faqir yang dibela Abu Bakar; Bilal, Khabbab, keluarga Yassir, ’Abdullah ibn Mas’ud. Dan siapa budak yang dibebaskan ’Ali? Dari sisi finansial, Abu Bakar sang saudagar, insya Allah lebih bisa membahagiakan Fathimah.
’Ali hanya pemuda miskin dari keluarga miskin. “Inilah persaudaraan dan cinta,” gumam ’Ali.
“Aku mengutamakan Abu Bakar atas diriku, aku mengutamakan kebahagiaan Fathimah atas cintaku.”
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan atau mempersilakan. Ia adalah keberanian, atau pengorbanan.
Beberapa waktu berlalu, ternyata Allah menumbuhkan kembali tunas harap di hatinya yang sempat layu.
Lamaran Abu Bakar ditolak. Dan ’Ali terus menjaga semangatnya untuk mempersiapkan diri. Ah, ujian itu rupanya belum berakhir. Setelah Abu Bakar mundur, datanglah melamar Fathimah seorang laki-laki lain yang gagah dan perkasa, seorang lelaki yang sejak masuk Islamnya membuat kaum Muslimin berani tegak mengangkat muka, seorang laki-laki yang membuat syaithan berlari takut dan musuh- musuh Allah bertekuk lutut.
’Umar ibn Al Khaththab. Ya, Al Faruq, sang pemisah kebenaran dan kebathilan itu juga datang melamar Fathimah.
’Umar memang masuk Islam belakangan, sekitar 3 tahun setelah ’Ali dan Abu Bakar. Tapi siapa yang menyangsikan ketulusannya?  Siapa yang menyangsikan kecerdasannya untuk mengejar pemahaman? Siapa yang menyangsikan semua pembelaan dahsyat yang hanya ’Umar dan Hamzah yang mampu memberikannya pada kaum muslimin? Dan lebih dari itu, ’Ali mendengar sendiri betapa seringnya Nabi berkata, “Aku datang bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku keluar bersama Abu Bakar dan ’Umar, aku masuk bersama Abu Bakar dan ’Umar.”
Betapa tinggi kedudukannya di sisi Rasul, di sisi ayah Fathimah. Lalu coba bandingkan bagaimana dia berhijrah dan bagaimana ’Umar melakukannya. ’Ali menyusul sang Nabi dengan sembunyi-sembunyi, dalam kejaran musuh yang frustasi karena tak menemukan beliau Shallallaahu ’Alaihi wa Sallam. Maka ia hanya berani berjalan di kelam malam. Selebihnya, di siang hari dia mencari bayang-bayang gundukan bukit pasir. Menanti dan bersembunyi.
’Umar telah berangkat sebelumnya. Ia thawaf tujuh kali, lalu naik ke atas Ka’bah. “Wahai Quraisy,” katanya. “Hari ini putera Al Khaththab akan berhijrah. Barangsiapa yang ingin isterinya menjanda, anaknya menjadi yatim, atau ibunya berkabung tanpa henti, silakan hadang ’Umar di balik bukit ini!” ’Umar adalah lelaki pemberani. ’Ali, sekali lagi sadar. Dinilai dari semua segi dalam pandangan orang banyak, dia pemuda yang belum siap menikah. Apalagi menikahi Fathimah binti Rasulillah! Tidak. ’Umar jauh lebih layak dari ’Ali ridha.
Cinta tak pernah meminta untuk menanti. Ia mengambil kesempatan. Itulah keberanian. Atau mempersilakan. Yang ini pengorbanan.
Maka ’Ali bingung ketika kabar itu meruyak. Lamaran ’Umar juga ditolak.
Menantu macam apa kiranya yang dikehendaki Nabi? Yang seperti ’Utsman sang miliarderkah yang telah menikahi Ruqayyah binti Rasulillah? Yang seperti Abul ’Ash ibn Rabi’ kah, saudagar Quraisy itu, suami Zainab binti Rasulillah? Ah, dua menantu Rasulullah itu sungguh membuatnya hilang kepercayaan diri.
***
Di antara Muhajirin hanya ’Abdurrahman ibn ’Auf yang setara dengan mereka. Atau justru Nabi ingin mengambil menantu dari Anshar untuk mempererat kekerabatan dengan mereka? Sa’d ibn Mu’adzkah, sang pemimpin Aus yang tampan dan elegan itu? Atau Sa’d ibn ’Ubaidah, pemimpin Khazraj yang lincah penuh semangat itu?
“Mengapa bukan engkau yang mencoba kawan?”, kalimat teman-teman Ansharnya itu membangunkan lamunan. “Mengapa engkau tak mencoba melamar Fathimah? Aku punya firasat, engkaulah yang ditunggu-tunggu Baginda Nabi.”
“Aku?”, tanyanya tak yakin.
“Ya. Engkau wahai saudaraku!”
“Aku hanya pemuda miskin. Apa yang bisa kuandalkan?”
“Kami di belakangmu, kawan! Semoga Allah menolongmu!”
’Ali pun menghadap Sang Nabi. Maka dengan memberanikan diri, disampaikannya keinginannya untuk menikahi Fathimah. Ya, menikahi. Ia tahu, secara ekonomi tak ada yang menjanjikan pada dirinya. Hanya ada satu set baju besi di sana ditambah persediaan tepung kasar untuk makannya. Tapi meminta waktu dua atau tiga tahun untuk bersiap-siap? Itu memalukan! Meminta Fathimah menantikannya di batas waktu hingga ia siap? Itu sangat kekanakan. Usianya telah berkepala dua sekarang.
***
“Engkau pemuda sejati wahai ’Ali!”, begitu nuraninya mengingatkan. Pemuda yang siap bertanggungjawab atas cintanya. Pemuda yang siap memikul resiko atas pilihan- pilihannya. Pemuda yang yakin bahwa Allah Maha Kaya. Lamarannya berjawab, “Ahlan wa sahlan!” Kata itu meluncur tenang bersama senyum Sang Nabi. Dan ia pun bingung. Apa maksudnya?
Ucapan selamat datang itu sulit untuk bisa dikatakan sebagai isyarat penerimaan atau penolakan. Ah, mungkin Nabi pun bingung untuk menjawab. Mungkin tidak sekarang. Tapi ia siap ditolak. Itu resiko. Dan kejelasan jauh lebih ringan daripada menanggung beban tanya yang tak kunjung berjawab. Apalagi menyimpannya dalam hati sebagai bahtera tanpa pelabuhan. Ah, itu menyakitkan.
“Bagaimana jawab Nabi kawan? Bagaimana lamaranmu?”
“Entahlah.”
“Apa maksudmu?”
“Menurut kalian apakah ’Ahlan wa Sahlan’ berarti sebuah jawaban?"
Wahai Ali..., satu saja sudah cukup dan kau mendapatkan dua! Ahlan saja sudah berarti ya. Sahlan juga. Dan kau mendapatkan Ahlan wa Sahlan kawan! Dua-duanya berarti ya... !”
Dan ’Ali pun menikahi Fathimah. Dengan menggadaikan baju besinya. Dengan rumah yang semula ingin disumbangkan ke kawan-kawannya tapi Nabi berkeras agar ia membayar cicilannya. Itu hutang.
Dengan keberanian untuk mengorbankan cintanya bagi Abu Bakar, ’Umar, dan Fathimah. Dengan keberanian untuk menikah. Sekarang. Bukan janji-janji dan nanti-nanti.
’Ali adalah gentleman sejati. Tidak heran kalau pemuda Arab memiliki yel, “Laa fatan illa ‘Aliyyan! Tak ada pemuda kecuali Ali!” Inilah jalan cinta para pejuang. Jalan yang mempertemukan cinta dan semua perasaan dengan tanggung jawab. Dan di sini, cinta tak pernah meminta untuk menanti. Seperti ’Ali. Ia mempersilakan. Atau mengambil kesempatan. Yang pertama adalah pengorbanan. Yang kedua adalah keberanian.
Dan ternyata tak kurang juga yang dilakukan oleh Putri Sang Nabi, dalam suatu riwayat dikisahkan bahwa suatu hari (setelah mereka menikah) Fathimah berkata kepada ‘Ali, “Maafkan aku, karena sebelum menikah denganmu. Aku pernah satu kali jatuh cinta pada seorang pemuda...”
‘Ali terkejut dan berkata, “Kalau begitu mengapa engkau mau menikah denganku? Dan siapakah pemuda itu?”
Sambil tersenyum Fathimah berkata, “Ya, karena pemuda itu adalah dirimu...”
Kemudian Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla memerintahkan aku untuk menikahkan Fatimah puteri Khadijah dengan Ali bin Abi Thalib, maka saksikanlah sesungguhnya aku telah menikahkannya dengan maskawin empat ratus Fidhdhah (dalam nilai perak), dan Ali ridha (menerima) mahar tersebut.”
Kemudian Rasulullah SAW mendoakan keduanya:
“Semoga Allah mengumpulkan kesempurnaan kalian berdua, membahagiakan kesungguhan kalian berdua, memberkahi kalian berdua, dan mengeluarkan dari kalian berdua kebajikan yang banyak.”

Sumber: 
Kitab Ar-Riyadh An-Nadhrah 2:183, Bab 4
pengumpulhikmah.blogspot.com
http://sepercikhikmah.blogspot.co.id/2016/02/inilah-kisah-cinta-sayyidina-ali-dan.html

SEJELEK-JELEK MAYIT



Pada suatu ketika sahabat Ukaf datang menghadap Rasulullah SAW.  Beliau kemudian bertanya, “Ya Ukaf, adakah engkau sudah menikah?” Jawab Ukaf, “Ya Rasulullah, saya belum beristri.”

Rasulullah bertanya lagi, “Adakah engkau memiliki hamba sahaya perempuan?”
Jawab Ukaf, “Saya tidak memilikinya, ya Rasulullah.”

Rasulullah bertanya lagi, “Adakah kamu mempunyai kekayaan?” Jawab Ukaf, “Ya, saya mempunyai kekayaan?”

Lantas Rasulullah bersabda, “Jika demikian keadaanmu, maka kamu adalah teman setan. Jika kamu pemeluk agama Nasrani, tentu menjadi seorang pendeta. Sungguh menikah adalah sunahku. Orang yang paling baik di antara kamu adalah orang yang beristri. Dan sejelek-jelek mayit adalah mayit orang yang tidak beristri.” (HR. Ahmad, dari Abu Dzar Ghifari)

Kamis, 24 Maret 2016

MANFAAT ILMU----BERBAGI PENGALAMAN




Waktu aku tinggal di desa kalo mau bermain internet harus di warnet. Aku pernah berjalan kaki sekitar 1 km dari rumah ke warnet. Suatu saat ketika melintasi jalan desa tetangga yang biasa aku lewati, aku mendapat inspirasi. 

Saat itu aku melihat penduduk desa tetangga sedang membuat jalan agar menjadi lebih bagus. Jalan akan dibeton. Lalu aku berpikir, "Jika jalan yang dibeton (aspal) hanya di desaku, sedangkan jalan-jalan di desa tetangga tidak dibeton (aspal). Ketika aku naik motor atau naik mobil bagus sekalipun sama juga. Aku akan mengalami kesulitan dalam perjalanan. Naik motor atau mobil bagus yang seharusnya nyaman, menjadi tidak nyaman lagi. Bahkan mungkin mobil yang kutumpangi akan terantuk batu atau terperosok di jalan." 

Begitu juga ilmu pengetahuan, hadist dan Al Qur'an. Jika hanya aku sendiri yang tahu seolah tidak ada gunanya. Aku lalu memberitahu orang lain di sekitarku. Aku memberitahu bapak, ibuku, saudaraku, temanku dan juga para tetanggaku. Aku melakukan hal itu sekitar 2 tahun yang lalu. 

Aku menganggap hal itu sebagai amal jariahku kepada orang tua, keluarga dan juga tetangga. Ilmu itu mahal harganya. Ilmu itu sulit ditemukan. Ilmu itu tidak terlihat dan tidak menarik bagi orang awam. Karena itu banyak orang enggan untuk mencari dan akhirnya tidak tahu. Tetapi orang yang berilmu (tahu) itu lebih baik daripada orang yang tidak berilmu (tidak tahu). 

Dari Ibnu Mas’ud RA, ia berkata, “Siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti pahala orang yang melakukannya.” (HR. Muslim)

Jumat, 18 Maret 2016

KEUTAMAAN MENGUCAPKAN: TIADA TUHAN SELAIN ALLAH




Nabi Musa AS bertanya, “Wahai Tuhanku, ajarilah aku suatu doa yang aku berdoa dan memohon kepada-Mu dengannya.”
Tuhan berfirman, “Wahai Musa, katakanlah: ‘Tiada Tuhan selain Allah’.”
Musa berkata,  “Setiap orang mengucapkan: ‘Tiada Tuhan selain Allah’.”
Allah berfirman, “Wahai Musa, seandainya langit yang tujuh dan bumi-bumi diletakkan pada satu telapak tangan, dan kalimat: ‘Tiada Tuhan selain Allah’ pada telapak tangan yang lain, maka kalimat: ‘Tiada Tuhan selain Allah’ akan lebih berat.”

****Sumber Buku: Menjadi Wanita Paling Bahagia-Special Untuk Wanita;DR. Aidh Al Qarni;Qisthi Press;2004;

Rabu, 09 Maret 2016

BERBAGI PENGALAMAN TENTANG SHALAT




Aku dulu pernah tidak shalat selama beberapa tahun. Kakakku Suraji (semoga Allah mengasihinya) pernah menanyakan kepadaku, “Kenapa kamu tidak shalat?” 
Aku menjawab, “Mas, kamu tidak bisa menasehatiku. Tetapi kamu hanya bisa mendoakanku.” Aku mengatakan yang demikian, karena dalam hatiku selalu bertanya, “Kenapa sekarang shalat  5 waktu itu terasa berat bagiku, padahal dulu rasanya mudah dan ringan sekali.” Setelah beberapa waktu berlalu, shalat menjadi sesuatu yang mudah untukku. Sampai saat ini aku meyakini dalam diriku, bahwa hidayah Allah datang karena doa kakakku.
Pada waktu di kota Semarang, temanku Khoiri Rozi (semoga Allah mengasihinya) heran ketika mengetahui tentang ketaatanku. Lalu ia bertanya kepadaku, “Apa yang menjadikanmu taat shalat? Padahal dulu kamu tidak shalat.” 
Aku menjawab, “Selama ini apa yang kuinginkan tidak segera kudapatkan. Kalau aku tetap tidak shalat maka aku rugi dua kali. Aku tidak mendapatkan keduniaan yang kuinginkan. Dan untuk akheratku juga berantakan. Sejak itu aku berusaha untuk shalat dan tepat waktu. Aku tidak ingin rugi dua kali.”