Selasa, 03 Juni 2014

HAK BERTETANGGA



Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya, baik dengan kata-kata atau perbuatan. Dan barang biasa beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah memuliakan tetangganya dan barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka hendaklah berdiam saja. Yakni jangan malahan berkata tidak baik.”  (HR. Bukhari)

Abu Hurairah r.a menuturkan bahwa seseorang berkata kepada Rasulullah saw, “Ya Rasulullah, Fulanah selalu shalat malam dan puasa di siang harinya. Akan tetapi ia sering mencela tetangganya.” Rasulullah, “Ia tidak baik dan tempatnya di neraka.” Disebutkan kepada Nabi saw, bahwa Fulanah hanya melaksanakan shalat wajib, puasa ramadhan dan bersadaqah secuil keju. Akan tetapi tidak pernah menyakiti tetangganya. Rasulullah bersabda, “Ia masuk surga.” (HR. Imam Ahmad dan Hakim)

Dari Abu  Dzar ra berkata, Rasulullah saw berkata, “Hai Abu Dzar, jikalau engkau memasak sesuatu, maka perbanyak airnya dan saling berjanjilah dengan tetangga-tetanggamu untuk saling memberi.” (HR. Muslim)

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda, “Demi Allah tidaklah beriman! Demi Allah tidaklah beriman! Demi Allah tidaklah beriman!” Sahabat bertanya : “Siapakah ya Rasulullah?” Beliau saw menjawab : “Yaitu orang yang tetangganya tidak aman akan kejahatan dan tipuannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang tetangga itu melarang tetangganya yang lain untuk menancapkan kayu dindingnya untuk atap dan lain-lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw bersabda: “Seseorang yang beriman tidak akan kekenyangan sedangkan tetangganya dalam keadaan lapar.” (HR. Bukhari.)

Anas bin Malik RA. menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Demi Tuhan yang jiwaku berada di tangan-Nya,  tidaklah seorang hamba (dikatakan) beriman sehingga ia mencintai tetangganya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri.” (HR. Muttafaq’ Alaih)

DUNIA DAN AKHERAT




Antara dunia dan akherat, manakah yang lebih penting? Ketika pertanyaan itu diajukan oleh seorang pensiunan guru kepada saya, awalnya saya bingung untuk menjawabnya.   
Menurut saya, pertanyaan itu sangat sulit untuk dijawab. Setiap orang tentu akan mempunyai jawaban yang berbeda dengan alasan berbeda pula. 

Sama seperti jika ditanyakan kepada kita: Manakah yang lebih penting, antara ayah dan ibu kita? Kita tentu juga akan merasa kesulitan untuk menjawabnya. 

Tetapi pada akhirnya kita bisa mengukur dalam diri kita sendiri. Dari setiap apa yang kita punya, misalnya: uang, pikiran, waktu, tenaga, tindakan dan ibadah kita dalam keseharian, untuk apa kita perbuat?

Jika kita hanya meniatkan  untuk hal-hal tentang keduniaan, misalnya: biar dikenal dan terkenal, kenaikan gaji atau kenaikan pangkat yang lebih tinggi, maka bisa dipastikan bahwa kita masih cenderung keduniaan. Dalam hal ini dunia lebih penting daripada akherat.

Tetapi jika kita untuk meniatkan untuk ibadah, kehidupan akhirat (surga) atau ridha Allah semata, maka kita termasuk orang yang lebih mementingkan akherat. 

Dari itu, akhirnya saya membuat kesimpulan atas pertanyaan yang diajukan pensiunan guru tersebut kepada saya. 

Saya lebih suka untuk memilih keduanya. Saya menginginkan kebaikan dalam kehidupan dunia dan juga kehidupan akherat. 

Dalam Islam ada doa yang banyak orang menamai doa sapu jagad yaitu, “Rabbanaa aatinaa fid dunyaa hasanatan wa fil aakhirati hasanaatan wa qinaa ‘azaaban naari.”  (Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan lindungilah kami dari azab neraka. (QS Al-Baqarah 2: 201). 

Sebagaimana juga ayah dan ibu saya, keduanya sama-sama pentingnya bagi saya…

Sri Widodo, ST