Saudaraku, kita dididik menjadi umat yang berakhlak.
Kita selalu dituntun Allah SWT dan rasulnya menjadi orang-orang yang mau
berkorban dan memberi. Memberi untuk meringankan beban orang lain. Berusaha
untuk menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Meski harus membebani,
menyulitkan kita sendiri. Kita selalu diajarkan untuk mau menebar
kebaikan dimana saja. Menjadi umat yang laksana lebah. Hinggap di
tempat yang baik, menghisap yang paling baik, dan menyebarkan yang baik dan
bermanfaat bagi manusia. Itulah akhlak kita. Itulah ciri khas dan jati diri
umat kita, sejarah kita.
Kita tidak diajarkan untuk menjadi orang seperti
lalat. Yang hinggap di tempat yang paling kotor, mengambil yang kotor, dan
menyebarkan kekotoran itu untuk merusak manusia. Harm bin Hayyan, seorang ahli
ibadah yang menjadi pegawai Umar bin Khatab ra pernah mengatakan, “ Tiada seorang hamba yang mendekatkan diri
hatinya kepada Allah, melainkan Allah akan mendekatkan hati orang-orang beriman
kepadanya sampai ia mendapatkan kasih sayang mereka.”
Muhammad bin Jahm didatangi seseorang yang ingin
membeli rumahnya. Ia bertanya, “Berapa engkau akan beli rumahku dengan tetangga
Said bin Al Ash?” Lalu ia melanjutkan, “Bagaimana engkau menilai harga tetangga
yang jika engkau memintanya, dia akan memberimu dan jika engkau diam, ia
menegurmu lebih dahulu. Dan jika engkau berbuat jahat padanya, ia tetap berbuat
baik kepadamu. Dan jika engkau jauhi dia, maka ia tetap lemah lembut padamu?”
Ketika hal itu disampaikan pada Said, ia mengirimkan utusan dengan membawa 100
dirham. “Tinggallah tetap di rumahmu,” kata Said.
Simaklah wasiat Abu Ja’far bin Al Baqi kepada Umar bin
Abdul Aziz, agar sang Khalifah kelima itu mendapat posisi yang baik di tengah
rakyatnya. “Jadikanlah kedudukan manusia
dalam dirimu tiga hal. Pertama, orang yang lebih tua darimu adalah orang tuamu.
Kedua orang yang setara denganmu adalah saudarmu, dan yang lebih kecil darimu
adalah anakmu. Lalu berbaktilah kepada orang tuamu, sambunglah hubungan dengan
saudaramu, dan kasihinilah anakmu.”
Akhlak yang baik, bukan hanya karakter seorang Muslim.
Tapi menurut Yahya bin Mu’adz rahimullah adalah kunci dan pintu rezeki. “Akhlak
yang baik adalah simpanan rezeki yang banyak,” demikian ujarnya. Dengan akhlak
yang baik, kita bisa menyebarkan nilai agama dan menanamkan pengaruh aqidah
dalam dada seseorang maupun masyarakat. Akhlak yang baik bisa mengeluarkan
manusia dari ketergantungan dan penghambaan pada sesama manusia, pada
ketergantungan dan penghambaan pada Allah.
Demikian Islam mengajarkan kita. Coba lihat bagaimana
tingkat kepedulian dakwah yang dilakukan oleh seorang Hasan Al Banna. Sayyid
Muhammad Nuh, sahabat Hasan Al Banna bercerita, ketika ia berada dalam
satu mobil bersama Hasan Al Banna di jazirah Khadra, sebuah wilayah di timur
kota Rasyid. Saat itu mobil berhenti di sebuah lampu merah, Imam Hasan Al Banna
melihat bahwa ada sedikit persediaan air di depan polisi lalu lintas. Kemudian
ia meminta izin kepada polisi untuk meminumnya. Polisi gembira sekali dan
mempersilahkannya untuk minum. Imam Hasan Al Banna lalu menyempatkan diri
berbicara beberapa kalimat kepada polisi tersebut. Ketika mobil kembali
bergerak kembali, Muhammad Nuh berkata kepada Hasan Al Banna, “Mungkin air yang
sedikit itu tidak sehat.” Hasan Al Banna
memandanginya dan berkata, “Kita telah berhenti sesaat. Kita harus mengambil
manfaat dari yang sesaat tadi untuk menyebarkan dakwah.” (Fiqh Dawah
Fardiyah, Dr Sayyid Muhammad Nuh)
Ini memang logika pahala, amal sholeh, yang didorong
oleh keimanan. Imanlah yang mendorong untuk berbuat baik, meski secara kasat,
mungkin sia-sia, bahkan bisa berupa beban atau kesulitan. Kebaikan harus
diberikan kepada siapa saja. Keadilan harus juga diberikan kepada siapa saja.
Kezaliman harus dijauhkan dari siapa saja. Itulah sendi-sendi ajaran Islam yang
diberikan kepada kita. Abdullah bin Umar pernah menyembelih kambing.
Pembantunya bertanya, “Apakah anda akan menghadiahkan pada tetangga kita yang
Yahudi?” Ia menjawab: “Ya, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah
bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku agar berbuat baik
terhadap tetangga, sampai-sampai saya menduga bahwa tetangga itu mempunyai hak
waris.”” (HR. Bukhari)
Saudaraku, coba perhatikan firman Allah SWT menasehati
Rasullulah, yang artinya, “Katakanlah, upah apapun yang aku minta kepadamu,
maka itu untuk kamu. Upahku hanya dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala
sesuatu.’ Katakanlah : Sesungguhnya Tuhanku mewahyukan kebenaran. Dia Maha
Mengetahui segala sesuatu. ” (QS. Saba 34:47-48)
Itulah petunjuk yang mengantarkan pada pemikiran yang
dilandasi keimanan. Memberi tanpa berharap balasan. Berkorban tanpa meminta
hadiah. Menyeru dan berusaha mendakwahkan kebaikan kepada banyak orang, dan
hanya mengharap balasan dari Allah SWT. Logika apa, selain keimanan, yang bisa
setuju dengan zakat, infaq dan shadaqah? Parameter apa selain keimanan, yang
bisa dipahami jihad yang dilakukan seorang mujahid, hingga ia berada di antara
kemungkinan mati? Terbayangkah logika kita, jika ada orang yang meminta mati
demi orang lain dalam jihad? Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memohon
kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan benar untuk mati syahid, maka
Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memberikan kedudukan sebagai syuhada
meskipun ia meninggal di atas tempat tidur.” (HR Tirmidzi, Nasa’d dan Ibnu
Majah).
Saudaraku. Jangan mundur memberi pengorbanan untuk
orang lain. Jangan berhenti memberi dan berusaha untuk melahirkan kebahagiaan
untuk orang lain. Mungkin saja, ada yang tidak setuju dengan bentuk pengorbanan
yang kita berikan pada orang lain karena dianggap menyulitkan diri sendiri.
Mungkin juga, ada yang menganggap upaya kita untuk kebahagiaan orang lain itu
membebani dan tidak ada gunanya.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan, bila kita jujur dan
tulus kepada orang lain, orang mungkin akan menipu kita. Tapi tetaplah jujur
dan tulus. Jika kita mengalami ketenangan dan kebahagiaan, mungkin ada orang
yang iri. Tapi tetaplah syukuri kebahagiaan kita. Kebaikan kita hari ini
gampang dan sering dilupakan orang. Tapi jangan berhenti melakukan kebaikan.
Karena inti masalahnya, ada di antara kita dengan Allah, bukan antara kita
dengan manusia. Siapapun dia.
****Sumber :
Majalah Tarbawi Edisi 57 halaman 60-61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar