Sabtu, 02 November 2013

ANTARA KITA DAN ALLAH



Saudaraku, kita dididik menjadi umat yang berakhlak. Kita selalu dituntun Allah SWT dan rasulnya menjadi orang-orang yang mau berkorban dan memberi. Memberi untuk meringankan beban orang lain. Berusaha untuk menyampaikan kebaikan kepada orang lain. Meski harus membebani, menyulitkan kita sendiri. Kita selalu diajarkan untuk mau menebar kebaikan dimana saja. Menjadi umat yang laksana lebah. Hinggap di tempat yang baik, menghisap yang paling baik, dan menyebarkan yang baik dan bermanfaat bagi manusia. Itulah akhlak kita. Itulah ciri khas dan jati diri umat kita, sejarah kita.

Kita tidak diajarkan untuk menjadi orang seperti lalat. Yang hinggap di tempat yang paling kotor, mengambil yang kotor, dan menyebarkan kekotoran itu untuk merusak manusia. Harm bin Hayyan, seorang ahli ibadah yang menjadi pegawai Umar bin Khatab ra pernah mengatakan,  “ Tiada seorang hamba yang mendekatkan diri hatinya kepada Allah, melainkan Allah akan mendekatkan hati orang-orang beriman kepadanya sampai ia mendapatkan kasih sayang mereka.”

Muhammad bin Jahm didatangi seseorang yang ingin membeli rumahnya. Ia bertanya, “Berapa engkau akan beli rumahku dengan tetangga Said bin Al Ash?” Lalu ia melanjutkan, “Bagaimana engkau menilai harga tetangga yang jika engkau memintanya, dia akan memberimu dan jika engkau diam, ia menegurmu lebih dahulu. Dan jika engkau berbuat jahat padanya, ia tetap berbuat baik kepadamu. Dan jika engkau jauhi dia, maka ia tetap lemah lembut padamu?” Ketika hal itu disampaikan pada Said, ia mengirimkan utusan dengan membawa 100 dirham. “Tinggallah tetap di rumahmu,” kata Said.

Simaklah wasiat Abu Ja’far bin Al Baqi kepada Umar bin Abdul Aziz, agar sang Khalifah kelima itu mendapat posisi yang baik di tengah rakyatnya. “Jadikanlah kedudukan manusia dalam dirimu tiga hal. Pertama, orang yang lebih tua darimu adalah orang tuamu. Kedua orang yang setara denganmu adalah saudarmu, dan yang lebih kecil darimu adalah anakmu. Lalu berbaktilah kepada orang tuamu, sambunglah hubungan dengan saudaramu, dan kasihinilah anakmu.”

Akhlak yang baik, bukan hanya karakter seorang Muslim. Tapi menurut Yahya bin Mu’adz rahimullah adalah kunci dan pintu rezeki. “Akhlak yang baik adalah simpanan rezeki yang banyak,” demikian ujarnya. Dengan akhlak yang baik, kita bisa menyebarkan nilai agama dan menanamkan pengaruh aqidah dalam dada seseorang maupun masyarakat. Akhlak yang baik bisa mengeluarkan manusia dari ketergantungan dan penghambaan pada sesama manusia, pada ketergantungan dan penghambaan pada Allah.

Demikian Islam mengajarkan kita. Coba lihat bagaimana tingkat kepedulian dakwah yang dilakukan oleh seorang Hasan Al Banna. Sayyid Muhammad Nuh, sahabat  Hasan Al Banna bercerita, ketika ia berada dalam satu mobil bersama Hasan Al Banna di jazirah Khadra, sebuah wilayah di timur kota Rasyid. Saat itu mobil berhenti di sebuah lampu merah, Imam Hasan Al Banna melihat bahwa ada sedikit persediaan air di depan polisi lalu lintas. Kemudian ia meminta izin kepada polisi untuk meminumnya. Polisi gembira sekali dan mempersilahkannya untuk minum. Imam Hasan Al Banna lalu menyempatkan diri berbicara beberapa kalimat kepada polisi tersebut. Ketika mobil kembali bergerak kembali, Muhammad Nuh berkata kepada Hasan Al Banna, “Mungkin air yang sedikit itu tidak sehat.”  Hasan Al Banna memandanginya dan berkata, “Kita telah berhenti sesaat. Kita harus mengambil manfaat dari yang sesaat tadi untuk menyebarkan dakwah.” (Fiqh Dawah Fardiyah, Dr Sayyid Muhammad Nuh)

Ini memang logika pahala, amal sholeh, yang didorong oleh keimanan. Imanlah yang mendorong untuk berbuat baik, meski secara kasat, mungkin sia-sia, bahkan bisa berupa beban atau kesulitan. Kebaikan harus diberikan kepada siapa saja. Keadilan harus juga diberikan kepada siapa saja. Kezaliman harus dijauhkan dari siapa saja. Itulah sendi-sendi ajaran Islam yang diberikan kepada kita. Abdullah bin Umar pernah menyembelih kambing. Pembantunya bertanya, “Apakah anda akan menghadiahkan pada tetangga kita yang Yahudi?” Ia menjawab: “Ya, karena sesungguhnya aku telah mendengar Rasulullah bersabda, “Jibril terus menerus berwasiat kepadaku agar berbuat baik terhadap tetangga, sampai-sampai saya menduga bahwa tetangga itu mempunyai hak waris.”” (HR. Bukhari)

Saudaraku, coba perhatikan firman Allah SWT menasehati Rasullulah, yang artinya, “Katakanlah, upah apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanya dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.’ Katakanlah : Sesungguhnya Tuhanku mewahyukan kebenaran. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. ” (QS. Saba 34:47-48)

Itulah petunjuk yang mengantarkan pada pemikiran yang dilandasi keimanan. Memberi tanpa berharap balasan. Berkorban tanpa meminta hadiah. Menyeru dan berusaha mendakwahkan kebaikan kepada banyak orang, dan hanya mengharap balasan dari Allah SWT. Logika apa, selain keimanan, yang bisa setuju dengan zakat, infaq dan shadaqah? Parameter apa selain keimanan, yang bisa dipahami jihad yang dilakukan seorang mujahid, hingga ia berada di antara kemungkinan mati? Terbayangkah logika kita, jika ada orang yang meminta mati demi orang lain dalam jihad? Rasulullah bersabda: “Barangsiapa yang memohon kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala  dengan benar untuk mati syahid, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala  akan memberikan kedudukan sebagai syuhada meskipun ia meninggal di atas tempat tidur.” (HR Tirmidzi, Nasa’d dan Ibnu Majah).
 
Saudaraku. Jangan mundur memberi pengorbanan untuk orang lain. Jangan berhenti memberi dan berusaha untuk melahirkan kebahagiaan untuk orang lain. Mungkin saja, ada yang tidak setuju dengan bentuk pengorbanan yang kita berikan pada orang lain karena dianggap menyulitkan diri sendiri. Mungkin juga, ada yang menganggap upaya kita untuk kebahagiaan orang lain itu membebani dan tidak ada gunanya.

Bahkan tidak tertutup kemungkinan, bila kita jujur dan tulus kepada orang lain, orang mungkin akan menipu kita. Tapi tetaplah jujur dan tulus. Jika kita mengalami ketenangan dan kebahagiaan, mungkin ada orang yang iri. Tapi tetaplah syukuri kebahagiaan kita. Kebaikan kita hari ini gampang dan sering dilupakan orang. Tapi jangan berhenti melakukan kebaikan. Karena inti masalahnya, ada di antara kita dengan Allah, bukan antara kita dengan manusia. Siapapun dia.  

****Sumber : Majalah Tarbawi Edisi 57 halaman 60-61

 




 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar