Suatu ketika Khalifah Umar bin
Khattab RA berkunjung kerumah putranya. Tiba-tiba matanya tertumbuk pada
seonggok daging diatas sebuah wadah. Umar lalu bertanya, “Daging apa ini?”
Putranya menjawab, “Aku menyukainya.” Mendengar itu Umar langsung menukas,
“Apakah enak memakan setiap yang engkau sukai? Cukuplah seseorang dikatakan
bersikap boros bila ia memakan semua yang ia sukai.” (Hayatush Shahabah,
2/287). Peryataan Umar kepada putranya memang sangat menyentil dan keras.
Ia bisa dimaklumi, karena Al-Qur’an sendiri dengan tegas menyatakan bahwa kaum mubadzirin
(pemborosan) adalah saudara-saudara syaithan. Dan syaithan itu kufur
terhadap rabbnya (QS Al-Isra 17: 27).
Ada dua kriteria boros menurut DR. Sayyid Muhammad
Nuh. Pertama, menggunakan suatu diluar kerangka taat kepada Allah.
Artinya, apa saja yang disalurkan untuk kemaksiatan, jelas sia-sia. Bentuknya
bisa harta benda, pikiran, tanaga, bahkan waktu. Waktu adalah anugerah termahal
dalam hidup manusia. “Hidup manusia tak lebih dari gugusan waktu. Hilangnya
sebagian waktu, berarti hilangnya bagian kehidupan,” kata Hasan Al-Bashri.
Maka, penyia-nyian waktu identik dengan membung-buang kesempatan hidup. Padahal
kehidupan adalah satu-satunya kesempatan manusia untuk memupuk modal kebahagian
hakiki di akhirat. Kedua, menggunakan suata melewati batas kewajaran. Termasuk
dalam hal ini makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kendaraan dan
sebagainya, yang digunakan secara berlebihan.
Semua hal yang awalnya mudah untuk dikonsumsi, bila
digunakan kelewat batas, hukumannya bisa menjadi haram. Makanan, minuman,
berpakaian, bukan saja mubah bahkan termasuk kategori kebutuhan primer
(dharuriyat). Namun bila dilakukkan secara berlebihan, bisa-bisa yang
mubah itu jatuh pada kategori haram. Imam Ghazali meriwayatkan, di kalangan
salafusshalih ada yang terbiasa berdiri di hadapan meja makan setiap malam.
Mereka berkata: “Wahai manusia yang ingin makan, jangan makan terlalu
banyak, karena hal itu akan menyebabkan kalian banyak minum dan menjadikan
kalian banyak tidur, dan akibatnya kalian akan banyak mengeluh ketika mati.” (Ihya
Ulumuddin, l/356).
Bahkan, beribadah yang kedudukannya wajib, bila
dilakukan melebihi kapasitas manusiawi, adalah haram. Rasul SAW bersabda, “Beramalah
sebatas kesanggupanmu. Sesungguhnya Allah tidak akan bosan sampai kalian yang
merasa bosan. Dan sesungguhnya amal yang paling disukai Allah adalah yang
dikerjakan terus-menerus sekalipun sedikit.” (Muttafaq alaih). Dalam
kesempatan lain, ketika sejumlah sahabat secara emosional bertekat meninggalkan
kebutuhan manusiawinya untuk beribadah, Rasul bersabda, “Kaliankah yang
mengatakan begini dan begitu? Demi Allah, sesungguhnya saya adalah orang yang
lebih takut daripada kamu, bahkan saya lebih bertakwa. Akan tetapi saya
berpuasa dan berbuka, saya sholat dan tidur, dan saya juga kawin. Barangsiapa
yang mengabaikan sunnahku, maka ia bukan golonganku.” (Muttafaqun alaih).
Dampak lain dari sikap boros adalah lenyapnya sikap
empati dan peduli terhadap orang lain. Makan dan minum bila berlebihan, selain
bersifat menyia-nyiakan nikmat Allah disaat orang lain membutuhkan, juga
menimbulkan penyakit. Bukan hanya penyakit fisik, tapi penyakit mental yang
menjadikan orang tidak lagi mempunyai empati dan tidak perduli terhadap kondisi
orang lain. Sikap boros menjadikan hati kasar dan keras. Hati manusia akan
halus dan lembut dengan rasa lapar dan sikap zuhud. Sebaliknya, hati akan
menjadi kasar dan beku dengan rasa kenyang atau banyak makan. Kondisi seperti
ini adalah sunnatullah yang tak akan berubah (QS Fathir 35:47). Ketika
hati kasar dan keras, sikap tunduk dan pengabdian seseorang kepada Allah akan
berkurang. Allah berfirman, “Celakalah bagi orang yang kasar hati dari
dzikrullah.” (QS Az-zumar 39:22). Orang yang hatinya kasar, meski berusaha
melakukan berbagai kebaikan dan ketaatan, tidak akan berhasil meraih kenikmatan
dalan beribadah. Ia hanya memperoleh rasa letih dan lelah. Rasul bersabda,
“Berapa banyak orang yang bangun malam, tetapi tidak mendapat apa-apa kecuali
bergadang.” (HR Thabrani, dengan sanad tsiqah). Itu sebabnya, orang
boros cenderung melakukan keburukan atas dosa. Inilah dampak ketiga sikap
boros. Boros dalam hal makanan akan memberi energi besar dalam tubuh, yang
wujudnya dapat menggerakkan perilaku yang terpendam dalam jiwa. Misalnya,
meningkatnya gejolak nafsu biologis seseorang karena banyak makan. Akibatnya, sangat
sulit baginya untuk bertahan agar tidak terjatuh dalam dosa dan maksiat.
Termasuk dampak sikap boros adalah kuatnya dorongan mencari harta dengan jalan
haram.
Sikap boros cenderung memanjakan rongrongan hawa
nafsu. Secara pribadi, orang yang terbiasa berlaku boros akan selalu menuntut
kebiasaan itu agar terus dipenuhi. Ditambahi lagi dengan pengaruh istri dan
anak. Istri dan anak adalah ujian. Ketika seorang muslim tidak teliti menghadap
mereka, dengan mudah ia akan terpengaruh. Allah swt berfirman, “Hai orang-orang
yang beriman, sesungguhnya di antara istri dan anak-anakmu ada yang menjadi
musuh bagimu, maka hati-hatilah kamu terhaadap mereka…” (QS At-Taghabun 64:
14). Banyak contoh menarik untuk kita renungkan, yang diberikan para
salafushalih.
Misalnya kisah Saad bin Abi Waqqash. Ketika menjadi
Gubernur kufah, ia pernah mengirim sepucuk surat pada Khalifah Umar RA. Isinya
adalah permintaan pembangunan rumah tempat tinggal. Umar RA segera membalas
suratnya dengan mengatakan, “Bangunlah apa yang dapat melindungimu dari sinar
matahari dan memeliharamu dari hujan. Dunia ini sudah cukup memadai” (Hayatu
shahabah, 2/286). Maimun berkisah, salah seorang keturunan Abdullah bin Umar RA
meminta kepada ayahnya sehelai kain seraya berkata, “Kainku telah terkoyak.” Abdullah
bin Umar RA menjawab, “Potonglah kainmu yang terkoyak, kemudian kenakan
sisanya.” Pemuda itu tampak tidak senang mendengar jawaban itu. Abdullah bin
Umar lalu berkata, “Celakalah engkau! Takutlah kepada Allah! Jangan sekali-kali
engkau termasuk kaum yang menjadikan rezeki Allah untuk perut-perut dan
punggung mereka.” (Hayatu Shahabah, 2/288).
****
Ditulis
ulang oleh : Budhi Tri Maryanto & Ali Nur Susanto
Sumber :
Majalah Sabili No. 14 Th VI 20 Januari 1999
Tidak ada komentar:
Posting Komentar