Jangan
percaya kalau ada pasangan suami istri mengaku tidak pernah mengalami konflik
dalam pernikahan. Meski tidak ada yang menghendaki, konflik dalam rumah tangga
adalah sebuah kepercayaan, baik kecil ataupun besar. Tetapi bila dikelola
dengan baik, konflik bisa membuat pernikahan semakin berkualitas, berkembang
dan maju.
Memang Beda
Sejak
awal pernikahan, kita sudah menyadari adanya perbedaan dua kepribadian yang
sudah ‘jadi’. Meski mungkin berasal dari komunitas pengajian yang sama, yang
mungkin memiliki visi, misi dan tujuan pernikahan sama, toh masing-masing dari
kita memiliki latar belakang, keinginan dan sikap berbeda. Sementara begitu
menjadi pasangan suami istri, persoallan-persoaan inilah yang paling sering
mengalami persinggungan. Sehingga hal-hal
yang nampak sepele sekalipun, sangat mungkin memicu munculnya konflik.
Perbedaan
latar belakang ini jika sekal awal disadari akan sangat membantu bila konflik
betul-betul datang mendera. Kesadaran bahwa memang ada hal-hal yang harus
dipertemukan, disepakati dan dipahami bersama dalam pernikahan, akan melahirkan
kedewasaan. Di samping menyediakan lapangan amal shalih yang relatif luas,
konflik juga akan mengajari kita untuk banyak mengalah, berkorban, toleran dan
tidak menuntut, sekaligus membuat kita lebih mengenal pasangan. “Oh ternyata
dia begitu to?” kemudian segera mencari solusi terbaik.
Meski
munculnya konflik bisa berpotensi positif bagi kedua belah pihak, konflik juga
berpotensi negatif jika tidak hati-hati mengelolanya. Mulai dari sumber
ketidakharmonisan pernikahan, sampai yang paling serius, ancaman perceraian!
Tantu saja tak ada yang menginginkan pernikahannya kandas di tengah jalan,
apalagi hancur berantakan. Jika telah ada buat hati, hal ini tentu saja sangat
menyakitkan. Tidak sedikit yang kemudian mengalami trauma berkepanjangan.
Pelaut Tangguh
Ibarat
mengarungi samudera, bahtera bernama rumah tangga akan banyak dihantam badai.
Hanya pelaut tangguh yang bisa mengendalikan laju bahteranya agar tetap
berlabuh sampai di tujuan. Untuk itu dia harus mengenali arah mata angin, jenis
angin yang sedang bertiup, sampai ilmu bagaimana menghadapi terpaan gelombang
dan hantaman badai.
Banyak hal yang
bisa memicu konflik. Soal selera makanan, warna pakaian dan gaya hidup, pembagian
waktu di dalam dan di luar rumah, pola pengasuhan anak, atau rahasia kamar
tidur. Pendeknya semua hal yang bisa saja menjadi sumber konflik dalam
pernikahan. Belum lagi sejumlah tekanan yang mungkin dialami pasangan
suami-istri; seperti kondisi keuangan yang sulit, kerabat yang ikut campur,
tuntutan pasangan yang berlebihan, dan fitnah rumah tangga.
Meski
persoalan-persoalan tersebut kekanak-kanakan, faktanya banyak pasangan yang
bercerai karena masalah-masalah yang benar-benar sepele. Ada lho pasangan yang
bercerai hanya karena masalah kentut dan kebiasaan suami mendengkur.
Sumber Konflik
Kita perlu mengenali sumber-sumber konflik dan
mengapa hal itu sampai menimbulkan perselisihan di antara kita. Yang pertama
adalah hal-hal yang sangat biasa seperti selera makan, cara menghidangkan
makanan dan makan, warna pakaian pasangan, model perabot rumah, atau hal-hal
sejenis yang sebenarnya remeh. Biasanya, pasangan yang belum matang secara
psikis akan menemui konflik karena hal-hal semacam ini. Mereka berpikir
dangkal. Sebab orientasi hidup mereka pun dangkal dan sangat ‘hari ini’.
Padahal pasti masing-masing pasangan memiliki banyak kelebihan pada hal-hal
yang lebih besar dan prinsipil. Juga lebih berjangka panjang.
Ada juga konflik
yang bersumber dari perilaku pasangan kita, seperti kebiasaan buruk pasangan
yang mudah marah, berbicara jorok, keras kepala dan mau menang sendiri. Juga
pasangan yang suka berbohong, gila hobi, terlalu dominan atau gila kerja.
Hal-hal seperti ini biasanya berasal dari salah asuhan, yang tentunya tidak
gampang merubahnya.
Kedua, sumber
konflik yang lain bisa berasal dari hubungan dengan mertua, ipar atau orang tua
sendiri pasca pernikahan. Orang tua atau mertua yang membanding-bandingkan kita
dengan anak atau menantu yang lain, terlalu ikut campur urusan rumah tangga
kita, sampai mertua atau orang tua kita meminta jatah bulanan dan penghasilan
kita. Belum lagi persaingan antar saudara ipar dalam merebut perhatian
pasangan, orang tua atau mertua, juga persaingan dalam perolehan materi.
Apalagi jika banyak di antara saudara ipar yang tidak sejalan dalam pemahaman
agamanya.
Ketiga, konflik
yang bersumber dari konskuensi keimanan yang kita pilih. Hidup di lingkungan
penuh dengan maksiyat, sementara kita
tidak ingin dicap sebagai warga yang eklusif tentu melahirkan sejumlah masalah.
Keadaan ekonomi yang tidak kunjung membaik, sedangkan penghayatan iman kita
yang fluktuatif (naik turun) tentu menjadi masalah. Meski yang membaikpun bukan
berarti sepi dari masalah.
Kecewa
Konflik-konflik
yang muncul dalam pernikahan sering melahirkan kekecewaan di hati kita. Banyak
yang kemudian tergesa-gesa menghukum bahwa dia telah salah pilih. Meski tentu
saja tidak selalu benar. Untuk itu, sangat dianjuran untuk mencari pasangan
yang se’level’ atau se-kufu dalam banyak hal, agar membantu proses adaptasi,
saling memahami dan menerima antar pasangan. Agar pula bisa meminimalisir
kemungkinan munculnya jurang perbedaan yang terlalu besar. Meski bagi sebagian
orang se-kufuan lebih dititikberatkan pada pemahaman agama dan pengamalannya.
Kekecewaan yang
muncul kadang disembunyikan, dan tidak dinyatakan secara terbuka. Kita tidak
mendialogkan, membicarakan ataupun mengungkapkannya dalam bentuk kemarahan.
Hanya melakukan ‘perang’ hati. Banyak yang berharap agar hal itu diselesaikan
dengan sendirinya sejalan dengan berjalannya waktu. Ini tentu saja tidak sehat
dan tidak memecahkan masalah yang sebenarnya. Tidak mustahil, hal ini ibarat
bom waktu yang hanya menunggu saat untuk meledak, ketika kekecewaan tidak bisa lagi
ditolerir.
Ada pula yang
melakukan perang terbuka, sebab kekecewaan yang dia rasakan diungkapkan dalam bentuk
kemarahan. Melontarkan kata-kata pedas secara frontal karena tidak bisa
menyembunyikan kekecewaannya. Dia tidak bisa menerima apa yang dia lihat dan
rasakan. Inilah pertengkaran, yang jika tidak segera dicari pemecahannya, tentu
akan menyulut kemarahan dan kekecewaan yang semakin besar.
Hanya saja,
apapun alasannya, sebaiknya tidak melakukan pertengkaran terbuka di depan
anak-anak. Sebab anak-anak balita seringkali berpikir bahwa merekalah penyebab
pertengkaran orang tua. Anak akan merasa bersalah dan gelisah. Pada bayi,
perasaan itu kadang diungkapkan dengan rewel.
Sedang bagi
anak-anak yang lebih besar, pertengkaran kedua orang tua sering memunculkan
perasaan takut jika orang tua mereka bercerai. Sementara mereka tidak siap
untuk memilih ikut siapa. Mereka bahkan takut membayangkan kemungkinan
bagaimana keadaan mereka setelah perceraian itu.
Solusi
Banyak solusi
yang bisa ditempuh untuk menyelesaikan konflik pernikahan. Mencoba untuk lebih
bersabar menerima keadaan, berani menghadapi dan memilih jalan terbaik. Bisa
dengan melakukah muhasabah, mengingat kebaikan-kebaikannya, merenungi komitmen
pernikahan, atau memikirkan psiokologi anak.
Yang kedua
adalah berani melakukan dialog, sebab banyak konflik yang muncul karena tidak adanya dialog yang
sehat. Masing-masing merasa benar dengan persepsinya sendiri-sendiri. Bisa saja
obrolan ringan dan dari hati ke hati, mencairkan kebekuan dan memperjelas
pemahaman tentang pasangan.
Terakhir jika
kedua hal di atas gagal kita lakukan adalah dengan mencari pihak ketiga sebagai
penengah. Tentu saja pihak yang netral dan tidak memihak agar tidak malah
semakin mengeruhkan suasana. Allah berfirman dalam surat An Nisaa ayat 35, “Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan
antara keduanya, maka kirimlah seorang hakim dari keluarga laki-laki dan
seorang hakim dari keluarga perempuan. Jika kedua orang hakim itu bermaksud
mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar