Tidak ada yang menolak jika Allah membuat keputusan
baginya. Tidak kita, tidak pula mereka yang telah disana. Siapapun. Hamba-hamba
shalih, atau manusia-manusia ingkar seperti Fir’aun masa lalu, atau yang mirip
dengannya di masa kini. Kesombongan mereka tidak akan mampu melawan kehendak
Sang Maha Berkehendak.
Padahal, tidak semua keputusan Allah itu terasa
manis dan lezat. Kita ingini dan harapkan. Ada pula yang pahit dan menyakitkan,
yang karenanya kita selalu berusaha menghindar. Tetapi pula, siapa yang bisa
memilih, jika Allah telah memilihkan baginya, termasuk apa yang kita sebut
musibah?
Persoalannya adalah tinggal bagaimana kita
menghadapi musibah itu. Menata hati dan pikiran agar tidak berubah menjadi
lebih terasa menyakitkan. Sebab hatilah tempat dimana logika bisa
dijungkirbalikkan. Jika hati menolak sesuatu, hal yang mestinya lezatpun terasa
menyakitkan. Pun demikian halnya jika hati telah ridha terhadap sesuatu, hal
yang tampak pahit bisa saja menjadi pemanis dan lezat.
Maka ucapan mengaggumkan semisal “Alhamdullilah”,
bisa saja terlontar dari lisan hamba yang tertimpa musibah. Dia meyakini Allah
menginginkan dirinya menjadi hamba pilihan. Dan tidak ada alasan baginya untuk
merasa susah.
Karena musibah yang kita hadapi, hakikatnya
merupakan pilihan dan keridhaan Allah bagi kita. Ialah kesempatan kita memenuhi
hak Allah di dalam musibah itu. Berupa kesabaran, keridhaan, pujian dan
isirtja’ (Inna lillahi wa inna ilaihi raaji’un). Ia adalah kesempatan
mendapatkan tambahan pahala dan terhapusnya dosa-dosa.
Kesempatan untuk berintropeksi diri atas kesalahan
yang pernah kita perbuat, menyegerakan taubat dan segera memperbaiki diri. Atau
kesempatan meraih derajat lebih tinggi di sisi-Nya.
Maka, musibah adalah obat mujarab yang akan berakhir
dengan kesembuhan, keselamatan dan kesenangan hati, yang hanya bisa diraih
dengan bersabar kala dia datang, jika kita bisa mengambil manfaat darinya.
Namun jika tidak petaka telah dimulakan.
Di tengah keyakinan bahwa apa yang terjadi adalah
rahasia Ilahi yang tidak akan pernah kita mengerti hakikatnya, musibah bisa
saja membawa banyak berkah. Bukankah apa yang kita cintai bisa saja menjadi
wasilah menghancurkan diri, sedang apa yang tidak kita suka bisa saja membawa
kebaikan yang banyak? Kita tidak pernah mengerti.
Maka, kalau kita meyakini bahwa Allah tidak akan
membebani kita diluar kesanggupan kita memikulnya, kenapa kita harus melarikan
diri? Padahal tidak ada jalan keluar kecuali kepada Allah kembali! Wallahu
A’lam.
Sumber :
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM untuk SMA-Kelas 1 –Semester
1; DRS .H ABU AHMADI, DRS. JUMARI ISMANTO, DRS. HMA. ABD. ROHMAN; Penerbit: CV.
TOHA PUTRA SEMARANG
Tidak ada komentar:
Posting Komentar